Oleh : Nasarudin Amin
Sore itu, langit di atas Desa Maregam mendung ketika rombongan tiba dengan longboat yang mengiris permukaan laut yang sedikit bergelombang. Sepanjang perjalanan, sholawat menggema, mengalun berulang-ulang, mengisi ruang antara ombak dan angin, menghadirkan ketenangan yang meresap ke dalam hati. Ada sesuatu yang menyejukkan dalam perjalanan itu, seolah setiap hembusan angin membawa doa, setiap riak air bak mengantar keberkahan.
Desa kecil yang menghadap langsung ke Pulau Tidore dan Halmahera itu menyambut mereka dengan kehangatan. Kepala Desa Maregam, Rakib, berdiri di antara warganya, senyumnya mengembang, bukan sekadar formalitas, tetapi sebuah sambutan yang paling ramah, yang mengisyaratkan bahwa kedatangan mereka bukan sekadar persinggahan, melainkan bagian dari ikatan yang lebih dalam ikatan persaudaraan dan keimanan.

Di Masjid Nurul Arda, di bawah atap yang telah menjadi saksi ribuan doa, sebuah perjalanan spiritual hendak dimulai, Jelajah Dzikir Ramadan (Jazirah). Bukan sekadar perjalanan fisik menyeberangi laut, tetapi juga perjalanan batin untuk meneguhkan iman, meresapi makna Ramadan, dan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.
Jazirah bukan sekadar perjalanan fisik ke berbagai desa, melainkan sebuah ikhtiar untuk meneguhkan keimanan di bulan yang suci. Habib Zaki Bin Abdurrahman Alaydrus hadir sebagai pemberi tausiah, membimbing mereka yang datang bukan hanya dengan telinga yang mendengar, tetapi juga dengan hati yang ingin menyerap hikmah.
Dalam kesempatan itu, Staf Ahli Walikota Tidore Kepulauan, Bidang Hukum, Politik dan Pemerintahan Asis Hadad, SE turut hadir, membawa pesan dari Walikota. Ada kehangatan dalam sambutannya, penghargaan atas inisiatif Yayasan Makulila yang menjadikan Ramadan lebih dari sekadar ritual tahunan, tetapi juga ruang untuk berbagi dan membangun kebersamaan.
Direktur Makulila, Nahrawi Djalal, menjelaskan bahwa Jazirah adalah program yang diadakan tiga kali selama Ramadan 1446 hijriah. Namun, lebih dari itu, ada makna yang lebih dalam, sebuah gerakan kolektif untuk menghadirkan kebaikan. Malam itu, empat unit sejadah diserahkan ke Masjid Nurul Arda Desa Maregam, bukan sekadar sebagai alas untuk bersujud, tetapi sebagai simbol sedekah dari banyak tangan yang tak saling mengenal, namun disatukan oleh keikhlasan dalam gerakan 1000 meter sejadah.

Ada sesuatu yang menggetarkan dalam kebersamaan seperti ini. Ramadan di Maregam tidak sekadar tentang ibadah individual, tetapi juga tentang bagaimana iman tumbuh dalam ruang-ruang sosial, dalam kehangatan berbagi, dalam perjalanan mencari makna. Seperti Jazirah yang berarti semenanjung, perjalanan ini adalah upaya untuk menambatkan diri pada pantai-pantai spiritual, menemukan kembali hakikat ketaqwaan di antara zikir yang mengalun dan doa yang melangit.
Ramadan bukan sekadar bulan dalam kalender hijriah. Ia adalah ruang waktu yang melampaui hitungan hari, penuh dengan keberkahan yang tak terhitung. Dalam setiap detiknya, ada rahmat yang turun, ada ampunan yang terbuka lebar, dan ada janji pahala yang berlipat ganda. Habib Zaki Bin Abdurrahman Alaydrus, dalam tausiyahnya, mengingatkan tentang keutamaan bulan ini, tentang bagaimana Ramadan bukan sekadar menjalani puasa tiga hari atau beberapa pekan, tetapi tiga puluh hari penuh yang harus dijalani dengan kesungguhan.
Nabi bersabda, siapa yang meninggalkan satu hari Ramadan dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan syariat, maka puasanya tak bisa digantikan meski ia berpuasa sepanjang tahun. Ini adalah peringatan bahwa Ramadan bukan sekadar kewajiban, tetapi juga kehormatan yang harus dijaga. Sebab, di dalamnya tersimpan malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu Lailatul Qadar.
Kata Habib, lailatul Qadar adalah bonus terbesar dari Ramadan. Malam di mana doa menjadi lebih mustajab, di mana langit dan bumi berselimut rahmat. Tetapi bagaimana mengenali tanda-tandanya? Habib Zaki menyebutkan, ada ketenangan yang hadir begitu saja, udara yang terasa lebih lembut, dan hati yang merasakan kedamaian yang sulit dijelaskan. Mereka yang mendapatkannya tak sekadar melihat tanda-tanda di langit, tetapi merasakan perubahan di dalam diri, sebuah getaran spiritual yang mengingatkan bahwa Allah Maha Dekat.
Selain itu, ramadan juga kata Habib mengajarkan tentang zakat, tentang bagaimana kebersihan hati tak hanya diukur dari ibadah personal, tetapi juga dari kepedulian kepada sesama. Zakat bukan sekadar angka yang dikeluarkan dari harta, melainkan wujud dari jiwa yang berusaha menyucikan diri. Begitu pula dengan Idul Fitri, bukan hanya perayaan kemenangan setelah menahan lapar dan dahaga, tetapi momentum untuk kembali pada fitrah, kembali pada hati yang lebih jernih, seperti bayi yang baru dilahirkan.
Walaupun begitu, ada juga saat-saat ketika seorang hamba merasa begitu kecil di hadapan Tuhannya. Saat ia menyadari betapa banyak langkahnya yang melenceng, betapa banyak waktunya yang terbuang, dan betapa sering hatinya lalai dari mengingat Allah. Di momen seperti itulah, doa menjadi jembatan yang menghubungkan keterasingan manusia dengan rahmat Ilahi.
Habib Zaki Bin Abdurrahman Alaydrus, dalam tausiyahnya, mengajarkan cara memohon ampun kepada Allah SWT. Bukan dengan untaian kata-kata yang sulit, bukan dengan ritual yang rumit, tetapi dengan sebuah doa sederhana yang membawa makna mendalam:
“Ashadu alla ilaha illallah, astagfirullah, nas’alukal jannata wa na’udzu bika min an-nar.”
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Aku memohon ampun kepada-Nya. Kami meminta surga kepada-Mu dan berlindung dari neraka.
Kata Habib, kalimat ini bukan sekadar lafaz, melainkan pintu menuju pembersihan diri. Ada pengakuan di dalamnya, bahwa hanya Allah yang layak disembah. Ada permohonan, bahwa manusia tak luput dari dosa dan membutuhkan ampunan. Ada harapan, bahwa surga adalah tujuan akhir, dan neraka adalah sesuatu yang harus dijauhi.
Dalam hidup, kita seringkali terjebak dalam ritme yang membuat kita lupa bahwa kita hanyalah musafir di dunia. Kita berlari mengejar sesuatu yang fana, lalu tersandung dalam kelelahan yang sia-sia. Doa ini mengingatkan bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kesibukan duniawi yaitu hubungan kita dengan Allah.
Di bulan Ramadan, ketika langit terbuka dan ampunan berlimpah, doa seperti ini menjadi kunci. Ia bukan hanya permohonan lisan, tetapi juga panggilan hati untuk kembali kepada-Nya. Setiap kali doa ini diucapkan, sejatinya kita sedang mengetuk pintu langit, berharap ada cahaya yang turun menyelimuti hati, menghapus dosa, dan membimbing langkah menuju jalan yang lurus.
Pada akhirnya, ramadan adalah sebuah perjalanan, bukan hanya untuk tubuh yang menahan lapar, tetapi untuk jiwa yang mencari makna. Dalam sujud, dalam zikir, dalam doa yang lirih di sepertiga malam, ada satu harapan yang diam-diam kita bisikkan, semoga kita menjadi bagian dari mereka yang diberi kesempatan mendapatkan hadiah Lailatul Qadar.
Habib menutup tausiyahnya dengan meminta Imam Masjid Nurul Arda untuk membacakan doa selamat untuk seluruh warga Desa Maregam serta rombongan Yayasan Makulila Maluku Utara.
Admin : Muktamin Amim