Kehebatan seorang penulis tak jarang lahir dari proses panjang. Ditambah lagi dengan orang-orang hebat di sekitarnya. Mereka tekun melatih hingga tumbuh sejurus, meski sejarah akan melukis masa yang berbeda. Nukila Amal bagian dari proses itu, mampu menggoda penikmat sastra dengan kata-katanya yang sarat makna. Adalah Cala Ibi (2003), novel pertamanya yang mendapat perhatian besar di dunia sastra Indonesia, bahkan masuk lima besar Khatulistiwa Literary Award, diterjemahkan dalam bahasa Belanda dan Italia.
Kumpulan cerpennya, Lulaba (2005) mendapat penghargaan Karya Sastra terbaik majalah Tempo dan Karya Sastra Pusat Bahasa (2010). Nukila juga meraih penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2008 melalui cerpennya, Smokol. Karya yang lain adalah Mirah Mini: Hidupmu, Keajaibanmu (2013).
Lulusan Sekolah tinggi Pariwisata Bandung ini, juga pernah menjadi anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta dan menerjemahkan sejumlah kumpulan puisi. Tak banyak yang tahu di balik kemampuan itu, Nukila bersama enam saudaranya tumbuh dalam keluarga penulis. Ayahnya, M. Adnan Amal, seorang hakim yang gemar menulis sejarah. Tulisan-tulisannya banyak menjadi rujukan dalam penulisan maupun diskursus sejarah Indonesia. Salah satu buku sejarah yang ditulisnya-boleh disebut sebagai magnum opus-adalah Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Beberapa karya yang lain juga berpengaruh, yakni: Sejarah Maluku Utara Jilid satu dan dua, Tahun-tahun Yang Menentukan, Tobelo Tempo Doeloe, Portugis dan Spanyol di Maluku, Cerita Rakyat Halmahera, dan Babullah Datu Syah.
Adnan Amal, juga menulis sejumlah artikel hukum yang dipublikasikan di jurnal nasional dan internasional. Memang, ia sangat mencintai dunia menulis, tak heran anak-anaknya tumbuh mengikuti jejaknya. Saudara Nukila Amal lainnya juga menulis. Seperti Taufiq Amal (Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman [2006], dan Rekonstruki Sejarah Al-Qu’an [2012]), Melly Amalia Amal (Una Teteruga), dan Marjorie Amal (Antologi Puisi Kitab Halmahera: Kitab Penyair Maluku Utara [2017], dan Membaca Mikrofon [2017]). Chairunnisa Amal, Anastasya Amal, dan Wardah Amelia Amal pun gemar menulis.
Terlahir sebagai anak kampung, 3 Januari 1931, di pelosok Galela, Halmahera Utara, tak menghambat proses pendidikan, meski berliku-liku. Pada 1938, Adnan Amal masuk Gouvernement Holland Inlandsche School (HIS) sampai kelas 4. Dan, setelah pendudukan Jepang ia meneruskan belajar pada Syogakko di Galela.
Pada 1950, Adnan Amal menamatkan SMP Muhammadiyah di Gorontalo, dan menamatkan SMA di Semarang pada 1954. Kemudian melanjutkan pedidikannya di Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. Antara 1957-1959, Adnan Amal menjadi guru SMA Negeri di Tanjung Karang, Lampung, kemudian melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan tingginya di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung pada 1963. Usai studi, ia mengembangkan kariernya sebagai Hakim di Pengadilan Negeri Ternate dan Ambon. Lalu, menjabat sebagai Hakim Tinggi di Manado dan Bandung. Dan, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi di Palu dan Makasar. Jabatan terakhirnya sebelum pensiun pada 1994 adalah Ketua Pengadilan Tinggi Maluku.
Berbekal pengalaman guru SMA dan profesi hakim, Adnan Amal memiliki metode sendiri, mendidik anaknya untuk tumbuh menjadi penulis. Pendidikan itu, ia terapkan dalam keluarga di setiap aktivitas keseharian mereka.
Marjorie Amal menceritakan, sejak kecil ayahnya telah membiasakan mereka membaca dan menulis. Hal itu tampak ketika ada dinas di luar daerah, ia selalu membawa oleh-oleh buku bagi mereka masing-masing diberikan dua buku. Buku tersebut diminta untuk dibaca-siapa yang duluan selesai dan menceritakan hasil bacaan dengan baik akan diberikan uang sebagai hadiah. Bahkan, bagi anaknya yang tak mengerjakan pekerjaan rumah, ia memberikan hukuman membaca buku sebanyak-banyaknya, lalu menyampaikan hasil bacaannya.
Berbagai cara Adnan Amal lakukan untuk mendekatkan anak-anaknya dengan buku. Tak hanya di rumah, di kantor misalnya, saat masih tugas di Ambon, ia sering menjemput Marjorie dari sekolah, kemudian mampir di kantor. Ia telah menyiapkan buku di atas meja untuk dibaca sambil menunggu selesai sidang. Menurut Marjorie, ia pernah juga meminta membeli sepeda, ayahnya menolak dengan segala macam alasan. Tetapi, jika minta dibelikan buku, langsung dibeli.
Sosok panutan ini juga memberi buku tulis (buku diary) pada anak-anaknya untuk menulis catatan harian. Menulis aktivitas mereka: entah bermain, belajar, hingga tidur. Dan, ketika buku penuh, ia belikan buku baru. Ia telah mengajari anak-anaknya untuk menghargai buku yang dibaca dan orang yang berprestasi. Dengan demikian, anak-anaknya dapat pintar membaca, berbicara, dan menulis.
Kebiasaan tersebut hingga dewasa. Adnan Amal melibatkan anak-anaknnya dalam menulis bukunya: mulai dari riset, menyalin naskah, menyunting, sampai pada proses perampungan buku. Kata Marjorie, Nukila yang paling sering dilibatkan penuh merampungkan sebuah buku. Tak hanya dalam keluarga, kala pensiun dari hakim, menjadi dosen di Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Adnan Amal sangat menghargai siapa saja yang menulis, termasuk mahasiswanya yang suka menulis. la akan mengompromi mahasiswa tersebut, sekalipun jarang masuk kelas. Dedikasinya di dunia pendidikan pun cukup besar. la termasuk salah satu pendiri Unkhair, bersama Yusuf Abdurahman.
Sosok yang kembali ke rahmatullah pada 4 Oktober 2017 itu, semasa hidup bercita-cita dikenang sebagai penulis yang banyak memberikan warisan pada penerus. Itu sebabnya sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk membaca, meriset dan menulis. Baginya menulis bukan perkara mudah, apalagi menulis dengan data riset: membutuhkan ketangguhan, keberanian dan keuletan. Dan, kebiasaan itu ia lakukan hingga di ujung usia.
Adnan Amal sangat konsisten dengan waktu membaca. Di tengah kesibukan kerjanya, saban hari ia luangkan waktu tersendiri untuk membaca-pagi setelah subuh dan sepulang kantor. “Sampai tua pun ia selalu membaca, bahkan hingga nyaris tak lagi mengenal huruf, ia menggunakan kaca pembesar. Dan, ketika kesadarannya mulai menurun, ia meminta untuk saya membaca untuknya, sesuai dengan buku yang diinginkan. Setelah membaca, ia masih sempat menanyakan dan mengomentari,” kata Marjorie.
Jika tak ingin lupa, membacalah. Dan, menulislah jika tak ingin dilupakan. Membaca dapat memperkaya diri dan lebih unggul dari orang lain. Begitulah semangat Adnan Amal. Pun menjadi penulis, harus menghargai setiap waktu dan berani untuk memulai. Karena kalau tak berani, tak pernah menghasilkan karya. la sendiri menulis dengan niat mewariskan sesuatu untuk generasi berikutnya karena hanya itu yang bisa ia tinggalkan.
Adnan Amal juga tampak sebagai perencana yang baik. Sebelum menjadi hakim, ia sudah membuka lahan kebun dan menanam sejumlah tanaman ekonomis. Anak-anaknya tidak sempat berpikir bahwa hasil tanaman itu akan sangat bermanfaat ketika pensiun. Bahkan, ia tidak mau mengambil uang pensiun dan lebih memilih menikmati hasil kebunnya. Sebab, ia sangat menyukai sejarah dan bertani.
Keluarga Adnan Amal konsisten melestarikan literasi, mulai dari membaca, menulis, hingga terbentuk dalam perilaku. Tak heran, Adnan Amal sangat menghargai dan senang ketika keluarganya dikatakan keluarga penulis. Oleh sebab itu, ia mengingatkan pada anak-anaknya untuk menulislah sepanjang usia.
Tulisan ini pernah terbit Pocer.co, pada 7 Maret 2017