Oleh : Nasarudin Amin
Di tengah lautan yang membentang, di antara gugusan pulau-pulau kecil yang tersebar di Maluku Utara, ada anak-anak yang berani bermimpi besar. Imajinasi mereka mengalir tak terbatas, mereka merangkai harapan di bawah langit biru, meskipun terhalang oleh realitas yang seringkali menyedihkan. Setiap pulau kecil, meskipun dihuni oleh komunitas yang sederhana, tetap saja menyimpan potensi besar dan cita-cita yang mendambakan perjalanan menuju masa depan yang lebih baik.
Namun, impian-impian itu tidak selalu mudah diraih. Keterbatasan akses terhadap pendidikan, infrastruktur, dan sumber daya menjadi rintangan yang nyata. Masyarakat setempat berjuang dalam ketidakpastian, sementara anak-anak ini terpaksa menghadapi kenyataan pahit bahwa pendidikan yang seharusnya menjadi hak mereka, sering kali terseok-seok. Sekolah-sekolah dengan fasilitas yang minim, guru-guru yang terbatas, serta kurangnya alat bantu belajar menjadi hambatan besar dalam mengejar cita-cita mereka. Namun, di balik keterbatasan itu, ada semangat yang terus menyala, seperti nyala lilin yang menolak padam meski diterpa angin.
Nahrawi Djalal, Direktur Yayasan Makulila, tidak memandang ini sebagai ironi yang tak bisa dipecahkan. Baginya, ini adalah undangan untuk bertindak, sebuah kewajiban yang tak bisa ditunda. Dalam nama “Makulila” yang berarti saling membesarkan terkandung filosofi kekeluargaan dan kolaborasi. Sebuah pesan sederhana namun mendalam: kita hanya bisa bertumbuh jika saling menopang.
Tapi bagaimana mungkin tanah yang begitu kaya menyisakan rakyatnya dalam dalam posisi seperti ini? Bagaimana mungkin pendidikan, hak yang seharusnya universal, berubah menjadi kemewahan yang hanya dapat dinikmati segelintir? Yayasan Makulila menjawab dengan tindakan. Lewat program MAUBAKULIA (Maluku Utara Maju dan Berakhlak Mulia) lembaga nirlaba ini berupaya merangkai harapan dalam bentuk pendidikan agama, keterampilan praktis, dan penguasaan bahasa asing. Pendidikan agama menjadi fondasi moral, sementara kemampuan berbahasa Inggris membuka pintu ke dunia yang lebih luas. Di sana, keterampilan praktis adalah jembatan menuju kehidupan yang lebih mandiri.
Perjalanan menuju transformasi sosial di daerah terpencil menghadapi tantangan yang kompleks dan multidimensional. Wilayah dengan akses terbatas seringkali menghadapi kendala seperti jarak, minimnya infrastruktur, serta terbatasnya sumber daya manusia yang berkompeten. Dalam konteks ini, peran relawan pengajar menjadi esensial untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan. Relawan tidak hanya berperan sebagai pendidik, tetapi juga sebagai agen perubahan yang berkontribusi dalam membangun harapan dan kapasitas lokal. Melalui dedikasi tanpa lelah, mereka membantu menanamkan fondasi pendidikan yang berkelanjutan, yang dapat memberikan dampak jangka panjang bagi generasi mendatang.
Yayasan Makulila mengimplementasikan prinsip-prinsip kolaborasi dan gotong royong dalam setiap langkahnya. Partisipasi yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan individu secara sinergis menjadi elemen kunci dalam mendukung visi organisasi. Kontribusi dalam bentuk tenaga, dana, serta sumber daya lainnya mencerminkan keberhasilan pendekatan berbasis komunitas untuk mengatasi keterbatasan struktural. Gotong royong ini tidak hanya menjadi alat untuk memperluas akses pendidikan, tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat solidaritas dan membangun sinergi yang berkelanjutan dalam menghadapi tantangan.

Wilayah ini, meskipun sering kali dianggap sebagai daerah pinggiran, namun justru menunjukkan potensi besar dalam mendorong solidaritas dan transformasi sosial. Perubahan yang dicetuskan di wilayah ini tidak hanya didasarkan pada kebijakan formal dari tingkat pusat hingga daerah, tetapi juga dapat diwujudkan melalui inisiatif lokal dengan memberdayakan civil society dan masyarakat setempat. Yayasan Makulila menjadi contoh konkret bahwa perubahan yang berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui keberanian untuk bermimpi besar, meskipun dihadapkan pada keterbatasan sumber daya. Lebih jauh, kesenjangan yang ada tidak hanya dipandang sebagai rintangan, tetapi sebagai peluang untuk menciptakan jembatan menuju masa depan yang lebih inklusif.
Upaya ini sesungguhnya untuk menjawab mimpi besar anak-anak kepulauan di Maluku Utara yaitu mereka ingin belajar, keluar dari isolasi mereka, dan membangun masa depan yang lebih baik. Keinginan untuk menjadi guru, dokter, dan pemimpin yang mampu membawa perubahan bagi tanah kelahiran mereka merupakan refleksi dari aspirasi yang tinggi. Namun, impian tersebut hanya dapat tumbuh dan berkembang jika ditanam di atas tanah yang subur. Caranya adalah ajarkan mereka adab, pengetahuan, nilai dan keterampilan yang mumpuni.

Setiap langkah kecil yang diambil oleh Yayasan Makulila mencerminkan komitmen untuk mewujudkan visi tersebut, sekaligus memberikan inspirasi kepada berbagai pihak. Bahwa perubahan yang dihasilkan tidak terjadi melalui sorakan atau peristiwa dramatis, melainkan melalui upaya yang konsisten dan tenang, yang tercermin dalam kebahagiaan sederhana anak-anak saat mereka pertama kali mampu membaca kata-kata yang sebelumnya asing bagi mereka.

Pada akhirnya, yayasan Makulila akan mengingatkan kita bahwa dalam konteks dunia yang dipenuhi dengan ironi, harapan selalu menemukan jalannya. Perubahan, sekecil apapun, adalah tanggung jawab bersama yang harus dipikul oleh setiap individu dan masyarakat. Di Maluku Utara, di tengah deru ombak dan terik matahari, mimpi anak-anak itu terus berlayar, menantang arus, dan mencari pelabuhan masa depan yang lebih baik. Masyarakat dan berbagai pihak perlu berkolaborasi untuk memastikan bahwa impian tersebut tidak hanya menjadi harapan kosong, tetapi dapat diwujudkan menjadi kenyataan yang membahagiakan. (**)